Nasionalisme Instan
By agussodagar - Rabu, 12 September 2012
-
PERHATIAN BUAT PARA PEMBACA NEW.TITUIT.COM
- Sebagian Artikel Berita Foto Video news.tituit.com ini berasal dari berbagai sumber yang ada di internet .
- Hak cipta Artikel,berita,foto,video news.tituit.com menjadi milik sumber berita ,artikel,video,foto dan materi terkait.
- News.tituit.com tidak ada maksud untuk membajak hak cipta karya manapun.
- Artikel,berita,foto,video materi news.tituit.com semata mata hanya untuk documentasi , selanjutnya untuk di manfaatkan sebagai media berbagi informasi dan silaturrahmi.
- Segala metari news.tituit.com hanya untuk pembelajaran guna menanamkan suka baca dan tulis .
- Jika ada yang tidak berkenan tulisanya di tampilkan di news.tituit.com , kami harap untuk melapor kepada admin, kami tidak keberatan untuk menghapus materi tersebut.
- Jika materi ini bermanfaat , saran kami jangan lupa memberi konstribusi kepada sumber materi terkait.
- Bila ada materi yang tidak di sebutkan sumbernya , kami mohon maaf.
Demikian pengumuman singkat terkait materi yang ada di news.tituit.com dan atas perhatianya kami ucapkan terimakasih, dan selamat membaca.
Bukan negerinya, melainkan orang-orang yang mendiami negeri ini. Mereka adalah orang-orang instan. Tentu saja bukan berarti orang-
orang ini berada dalam bungkusan dan siap dimasukkan ke dalam air
panas agar matang. Tetapi instan sudah melekat dalam hati dan
pikiran kami.
Mungkin ini karena apa yang kami makan. Meskipun mie bukan
makanan pokok kami, tetapi kami adalah negara konsumer mie
instan terbesar di dunia. Bahkan salah satu produk mie instan dari
negeri kami sangat terkenal dan digemari di dunia. Jadi wajar jika
pikiran kami pun ingin yang serba instan.
Mulai dari tontonan kami: sinetron instan, artis instan, politikus
instan, pokoknya segala sesuatu yang berhubungan dengan sesuatu
yang dapat terwujud secara tiba-tiba itulah yang kami gemari.
Tentu saja tidak heran jika artis dan politikus dadakan menjamur
bak di musim hujan. Sekali lagi, ini negeri orang instan.
Bahkan pemimpin kami pun pemimpin instan. Presiden yang
menggunakan jinggle mie instan sebagai theme song kampanyenya
itulah yang dekat di hati kami. Presiden yang yakin bahwa mie instan
yang dimakannya dicampur dengan singkong dan tidak hanya dari
gandum.
Kalau kami tidak suka dengan pemimpin kami, tinggal gulingkan saja.
Toh tak perlu susah-susah cari pengganti karena masih banyak
pemimpin instan lainnya. Jadi wajar jika hampir semua dari lima
presiden kami terdahulu (tidak termasuk dua yang dilupakan) jatuh
dari kursi empuknya dengan terguling kecuali Sang Srikandi, itupun
karena kami tidak enak hati padanya. Bukankah kita harus berlaku
lemah lembut pada wanita?
Perilaku kami pun instan, coba lihat betapa kami suka dengan
korupsi karena itu instan. Kekayaan instan tanpa perlu susah-susah
bekerja sedikit demi sedikit, itu yang kami suka. Lihatlah
bagaimana kami lebih suka memberi uang kepada mafia hukum
jalanan ketika kami melanggar aturan lalu lintas. Karena kami ingin
menyelesaikan masalah ini dengan instan, tanpa perlu repot-repot.
Begitu pula kami dalam mengelola ekonomi negara ini. BUMN
merugi? Jual saja jadikan perseroan. SKKK kurang ahli dalam
mengelola keamanan? Pakai saja jasa swasta. Bahkan negara ini tak
lebih dari sebuah perusahaan besar.
Lihatlah bagaimana kami belajar. Kami menjadi pintar hanya dengan
semalam. Dan lusa, kami sudah lupa. Benar-benar instan pula lah
kepandaian kami ini. Tidak heran juga bimbingan belajar dan les
privat menjadi populer di dunia pendidikan. Meski mereka hanya
mengajari kami bagaimana mengerjakan soal dan bukannnya
mengajari kami ilmunya, tapi kami anggap itu jauh lebih penting dan
lebih berguna.
Ketika rumah dan harta kami hancur karena musibah, maka yang
kami lakukan hanyalah menunggu bantuan instan dari pemerintah.
Dan berharap bantuan tersebut jika direbus dengan air mendidih
akan segera menjadi rumah dan harta benda baru bagi kamu. Lihat
kan? Betapa instan pemikiran kami.
Siapa bilang negeri ini bukan negeri instan? Bah, pendahulu kami
mendamba negeri yang elok yang dibangun dengan keringat, bukan
negeri yang direbus dengan air matang. Tapi kami adalah manusia
instan. Mungkin gandum tidak tumbuh di negeri ini tetapi instan
telah menjadi nama tengah kami.
Follow our blog on Twitter, become a fan on Facebook. Stay updated via RSS
0 komentar for "Nasionalisme Instan"