Taktik dan Politik Sutowijoyo Untuk Memperluas Wilayah
By agussodagar - Senin, 27 Agustus 2012
Setelah Sutowijoyo berhasil mempersatukan sebagian besar
Jawa Tengah maka Sutowijoyo mulai melancarkan usaha perluasan
daerah ke Jawa Timur. Taktik dan politik Sutowijoyo semakin
menunjukkan karakternya sebagai seorang “pembohong” politik,
ketika menghadapi kekuatan kerajaan-kerajaan Jawa Timur yang
bersatu untuk menghadang kekuatan Mataram.
Suatu saat, Sutowijoyo mengumpulkan seluruh kekuatannya
dan memimpin pasukan untuk melebarkan kekuasaannya ke Jawa
Timur. Para raja Jawa Timur, seperti Surabaya, Madiun, Pasuruan,
Tuban, Lamongan, Gresik, Sumenep dan lain-lain segera bersatu
untuk menghadang gerak pasukan Mataram. Mereka membuat
pesanggrahan (kamp militer) di Japan. Ketika mengetahui adanya
bahaya pertumpahan darah itulah maka konon Sunan Giri, sebagai
guru para penguasa di Jawa, mengirimkan utusan untuk
mendamaikan Mataram dengan para penguasa Jawa Timur tersebut.
Atas inisiatif utusan Sunan Giri tersebut maka dilakukan
perundingan. Utusan tersebut konon membawa pesan dari Sunan
Giri yang tidak mengizinkan perang dan memberikan pilihan
kepada Mataram dan para penguasa Jawa Timur untuk memilih
“tempat” atau “isi”. Ternyata Sutowijoyo memilih tempat dan
Pangeran Surabaya memilih isi. Hal itu ditafsirkan dengan
pengertian mistik bahwa telah ditakdirkan Sutowijoyo akan
menguasai wilayah di Jawa (tempat atau wadah diartikan sebagai
wilayah). Sebaliknya para penguasa wilayah Jawa Timur hanya
akan menjadi isi dari wilayahnya (isi diartikan dengan penduduk).
Namun setelah itu masih terjadi perselisihan perebutan
beberapa wilayah di Blora dan Warung antara Mataram dengan
Surabaya. Sutowijoyo masih tetap berusaha melanjutkan misinya
untuk mempersatukan Jawa di bawah kekuasaan Mataram. Maka
atas inisiatif Panembahan Madiun, dikumpulkanlah seluruh
pasukan dari Jawa Timur untuk menghadang serangan Mataram,
sebab Mataram tetap dianggap api yang berbahaya, yang suatu saat
akan menguasai Jawa Timur.
Dalam rangka penyerangan ke Timur, Sutowijoyo
mengumpulkan seluruh pasukannya dan diberangkatkan ke arah
Timur, lalu membuat kamp di Desa Kalidadung, sebelah barat
sungai Madiun. Maka pasukan Mataram dan pasukan Jawa Timur
telah berhadap-hadapan dan hanya dibatasi oleh sungai Madiun.
Sutowijoyo membuat estimasi bahwa pasukannya tidak akan
mungkin mengalahkan Angkatan Perang Jawa Timur yang sangat
besar. Maka ia segera melancarkan taktik. Disuruhnya seorang
wanita cantik, konon bernama Adisara, sebagai duta untuk
melakukan diplomasi. Wanita tersebut disuruh Sutowijoyo untuk
mengakui bahwa Mataram menyerah kepada Jawa Timur sebab
Sutowijoyo menyadari kebesaran para penguasa Jawa Timur.
Sutowijoyo menyatakan membatalkan peperangan. Maka
Panembahan Madiun, yang tidak lain adalah ipar Sultan
Hadiwijoyo, merasa gembira. Begitu pula para prajurit Jawa Timur
yang tidak jadi berperang.
Karena pernyataan menyerah dari Sutowijoyo tersebut maka
pasukan aliansi Jawa Timur membubarkan diri dan ditarik ke
daerah masing-masing. Setelah Sutowijoyo memastikan lawannya
telah bubar, maka ia memerintahkan pasukannya untuk menyerang
Madiun. Kisah peperangan licik ini diabadikan dengan cerita rakyat
yang bertitel Retno Dumilah yang sering menjadi cerita
pertunjukan Ketoprak. Retno Dumilah adalah puteri Panembahan
Madiun, yang akhirnya dikawini oleh Sutowijoyo, yang konon
melahirkan penerus kekuasaan Mataram selanjutnya, yaitu: Sultan
Agung Hanyokro-kusumo, setelah meninggalnya Prabu
Nyokrowati, Raja Mataram kedua.
Kisah kelicikan Sutowijoyo dalam menjalankan taktik lainnya
juga sangat terkenal dalam cerita rakyat Ki Ageng Mangir. Ki
Ageng Mangir adalah penguasa Kemangiran dekat dengan
Mataram, yang tidak mau membayar upeti kepada Mataram. Ki
Ageng Mangir mempunyai alasan bahwa Mangir adalah wilayah
bebas upeti (kawasan otonom dan bebas pajak) sejak jaman
Majapahit dan diakui penguasa Demak sampai Pajang, sehingga ia
juga tidak mau membayar upeti kepada Mataram. Namun,
Sutowijoyo mengartikan lain. Jika seorang kepala daerah tidak mau
membayar upeti, maka dianggaplah sebagai bentuk
pembangkangan.
Sikap Sutowijoyo ini tidak terlepas dari perilakunya
(pengalamannya sendiri) ketika ia membangkang kepada Pajang
dahulu, dengan jalan tidak mau sowan dan tidak mau membayar
upeti. Maka Sutowijoyo menganggap Ki Ageng Mangir sebagai
lawan politik yang harus disingkirkan.
Cerita rakyat mengisahkan bahwa Ki Ageng Mangir adalah
orang yang sangat sakti dan berpengaruh. Ia mempunyai pusaka
yang berupa tombak yang diberi nama Tombak Baru Klinting. Ki
Ageng Mangir akan kehilangan kesaktian jika kesaktian tombak
pusakanya itu musnah. Dalam mistik kejawen, seluruh bentuk
kesaktian itu pasti mempunyai wadi (rahasia).
Untuk menyerang Kemangiran, Sutowijoyo merasa ragu-ragu,
apakah ia akan bisa mengalahkan Ki Ageng Mangir. Maka
Sutowijoyo menugaskan puterinya yang cantik, bernama
Pambayun, untuk menyamar menjadi penari keliling dengan misi
untuk menarik perhatian Ki Ageng Mangir. Akhirnya misi itu
berhasil sebab Ki Ageng Mangir tertarik kepada Pambayun dan
mengawininya. Umpan Sutowijoyo adalah puterinya sendiri, telah
dimakan Ki Ageng Mangir.
Karena sudah menjadi isteri Ki Ageng Mangir maka Pambayun
tidak lupa dengan misinya untuk mengetahui rahasia kesaktian Ki
Ageng Mangir. Akhirnya Ki Ageng Mangir membeberkan rahasia
kesaktiannya, yaitu terletak pada tombak pusaka miliknya. Jika
tombak itu dipegang oleh wanita maka kesaktiannya akan hilang.
Maka pada tengah malam ketika Ki Ageng Mangir tertidur,
Pambayun memegang tombak pusaka Kyai Baru Klinting tersebut
sehingga musnahlah kesaktiannya.
Konon, setelah Pambayun hamil, maka ia merasa rindu dengan
orang tuanya dan membuka kedoknya, bahwa sesungguhnya ia
adalah anak Sutowijoyo yang sedang ditugaskan untuk mengetahui
rahasia kesaktian Ki Ageng Mangir. Mengetahui hal tersebut maka
Ki Ageng Mangir tidak dapat menyembunyikan kekecewaannya,
tetapi ia memilih untuk tunduk kepada Mataram daripada harus
berpisah dengan isterinya yang sedang hamil tersebut.
Selanjutnya Pambayun berkirim kabar kepada ayahnya,
Sutowijoyo, bahwa ia akan pulang bersama Ki Ageng Mangir yang
telah menjadi suaminya. Mendengar kabar itu maka Sutowijoyo
mengirmkan utusan untuk menyampaikan pesannya kepada Ki
Ageng Mangir, bahwa Ki Ageng Mangir boleh menghadap kepada
Sutowijoyo, tetapi tidak boleh membawa pasukan pengawal untuk
masuk ke wilayah Mataram. Syarat itu disanggupi oleh Ki Ageng
Mangir.
Namun, ketika Ki Ageng Mangir sampai di wilayah Mataram,
Pambayun direbut oleh pasukan Mataram dan Ki Ageng Mangir
dikeroyok pasukan Mataram. Tapi karena kesaktiannya, maka Ki
Ageng Mangir masih bisa hidup sampai akhirnya ia berhadapan
langsung dengan Sutowijoyo di istana Mataram. Ki Ageng Mangir
menuruti perintah Sutowijoyo untuk menghaturkan sembah, tetapi
kepala Ki Ageng Mangir dibenturkan ke Watu Gilang oleh
Sutowijoyo hingga meninggal dunia. Bahkan karena ketakutannya
kepada Ki Ageng Mangir yang sudah mati, kepala Ki Ageng Mangir
dipenggal, lalu kepala dan badan dikubur dalam tempat yang
berbeda, di luar dan di dalam benteng keraton.
Itulah sekelumit cerita yang sangat dihafal oleh sebagian besar
para orang tua Jawa. Kisah-kisah tersebut menunjukkan betapa
liciknya Raja Jawa yang bernama Sutowijoyo. Maka boleh jadi,
Nyai Ratu Kidul adalah bagian dari kelicikan politik dan taktik
Sutowijoyo untuk menjatuhkan mental para prajurit lawan-
lawannya. Hal itu sekaligus menunjukkan kepiawaian Sutowijoyo
dalam memanfaatkan social behav or (perilaku masyarakat) dalam
menjalankan strategi politiknya. Sutowijoyo sadar bahwa
masyarakat Jawa waktu itu masih dilekati keyakinan mistik
sehingga bisa dipengaruhi melalui jalan mistik tersebut.
Follow our blog on Twitter, become a fan on Facebook. Stay updated via RSS
0 komentar for "Taktik dan Politik Sutowijoyo Untuk Memperluas Wilayah "