Pertanyaan yang tidak bisa dipersamakan
By agussodagar - Senin, 03 September 2012
Pertanyaan-pertanyaan itu tentu tidak bisa dipersamakan
perlakukan dengan misalnya: Di mana Allah berada ketika Dinasti
Abasyiah di babat habis oleh pasukan Hulagu Khan? Sebab Allah adalah
Tuhan semua manusia yang harus berbuat adil. Berbeda dengan Nyai
Ratu Kidul yang ikatan kontraknya khusus kepada Sutowijoyo yang
klausulnya diberlakukan sampai kepada seluruh ahli waris Mataram.
Keunggulan dan kemenangan manusia atas manusia lain, bukan
digantungkan pada agamanya, apakah orang itu muslim atau bukan,
melainkan pada penggunaan akal dan ilmu pengetahuannya termasuk
ketepatan manajemennya.
Saya kembali pada soal logika Nyai Ratu Kidul. Suatu saat Sultan
Hamengku Buwono X pernah ditanya, “Apakah Nyai Ratu Kidul itu
benar-benar ada?” Maka secara cerdik Sultan menjawab, “Jika saya
jawab, nanti akan menimbulkan polemik.” Hal itu menunjukkan bahwa
Sultan Hamengku Buwono memahami opini yang ada di masyarakat.
Jika Sultan menjawab “ada” maka ia akan berhadapan dengan
pertanyaan-pertanyaan mengenai bukti-bukti. Meskipun bukan bukti
ilmiah, tetapi setidak-tidaknya berkaitan dengan argumen logis yang
dilontarkan golongan rasionalis dan para tokoh agama. Sebaliknya jika
Sultan menjawab “tidak ada” maka sama halnya akan meruntuhkan
simbol magis kesultanan warisan Mataram, yang sama halnya
meruntuhkan kewibawaan Keraton Jogjakarta. Bagaimanapun juga Nyai
Ratu Kidul telah dipercaya sebagai bagian dari kekuasaan Mataram dan
penerusnya. Runtuhnya mitos Nyai Ratu Kidul akan berpengaruh pada
berkurangnya kekuatan Keraton, sedikit atau banyak.
Dalam perkembangannya, setelah Mataram pecah menjadi
Jogjakarta, Surakarta, Pakualaman dan Mangkunegaran, terdapat
kesadaran mitos yang memaksa penguasa Surakarta untuk tidak
diidentikkan lagi menjadi suami dari Nyai Ratu Kidul, sebab
kenyataanya Mataram sudah terpecah-pecah, dan rajanya sudah lebih
dari satu. Tapi perubahan mitos itu sudah terlambat.
Perubahan mitos tersebut terjadi pada jaman Paku Buwono X.
Diceritakan suatu saat Paku Buwono X menjalin asmara dengan Nyai
Ratu Kidul di Panggung Sanggobuwono. Ketika kemudian Paku Buwono
dan Nyai Ratu Kidul menuruni Panggung Sanggobuwono maka tiba-tiba
kaki Paku Buwono X terpeleset dan secara reflek Nyai Ratu Kidul
mengucap, “Anakku…Ngger!” Ucapan Nyai Ratu Kidul itu dianggap
sebagai sabda pandhita ratu yang tidak bisa ditarik, sehingga sejak saat
itu raja Surakarta dan keturunannya dianggap sebagai anak dari Nyai
Ratu Kidul.
Kisah tersebut dapat dipandang sebagai pembatalan kontrak antara
Sutowijoyo dengan Nyai Ratu Kidul yang khusus berlaku di Surakarta.
Kalau dilogikakan, maka seharusnya setelah peristiwa itu Nyai Ratu
Kidul tidak wajib untuk “melayani” raja Surakarta, sehingga fungsi
Panggung Sanggobuwono sudah bukan lagi sebagai tempat memadu
kasih antara Nyai Ratu Kidul dengan raja Surakarta, terhitung setelah
peristiwa yang dialami Paku Buwono X tersebut.
Kisah terpelesetnya Paku Buwono X tersebut adalah termasuk
kecerdikan Paku Buwono X dalam melakukan revisi terhadap posisi
magis Nyai Ratu Kidul. Perlu diingat bahwa ada hari khusus dalam bulan
Suro yang dijadikan hari upacara pertemuan antara Nyai Ratu Kidul
dengan Sutowijoyo, yaitu Hari Selasa Kliwon. Sedangkan menurut
Perjanjian Giyanti tahun 1755, Mataram dibagi menjadi Jogjakarta dan
Surakarta.
Bahkan tahun 1813 Sultan Hamengku Buwono I memberikan
kedaulatan kepada puteranya, Notokusumo dengan gelar Paku Alam
untuk memerintah wilayah sebelah barat sungai Progo yang dinamai
Adikarto. Surakarta pun mempunyai pecahan yaitu Mangkunegaran
sejak tahun 1757 yang diperintah Raden Mas Said (anak Pangeran
Diponegoro) yang bergelar Mangkunegoro I. Sampai pada titik sejarah
ini, raja di wilayah Mataram keturunan Sutowijoyo sudah terpecah
menjadi empat.
Pertanyaannya adalah: Betapa sibuknya Nyai Ratu Kidul pada hari
Selasa Kliwon di bulan Suro sebab harus melayani empat raja sekaligus?
Juga betapa sibuknya Nyai Ratu Kidul yang harus melayani empat raja
dalam waktu-waktu tertentu? Bukankah menurut kontrak politiknya
dengan Sutowijoyo bahwa Nyai Ratu Kidul akan membantu
memakmurkan Mataram? Mataram telah terpecah menjadi empat, dan
jika ada keunggulan kemakmuran di salah satu kerajaan tersebut, apakah
Nyai Ratu Kidul tidak pilih kasih?
Atau, jika misalnya Pakualaman dan Mangkunegaran dianggap
sebagai wilayah kadipaten sehingga para raja adipatinya tidak
dikategorikan sebagai raja, tapi setidak-tidaknya masih ada dua kerajaan
pecahan Mataram yang sama-sama berdaulat, yaitu: Jogjakarta dan
Surakarta.
Maka Paku Buwono X membuat logika mistik guna mengurangi
beban Nyai Ratu Kidul dengan cara “mengalah” untuk hanya dianggap
sebagai anak dari Nyai Ratu Kidul. Revisi mistik yang dilakukan Paku
Buwono X tersebut memberikan indikasi bahwa Paku Buwono
mengakui adanya ketidaklogisan dalam mitos Nyai Ratu Kidul jika
“memaksa” Nyai Ratu Kidul harus menjadi isteri dari empat atau dua raja
sekaligus, padahal dari sudut pandang Hukum Perkawinan yang dianut
oleh Mataram dan pecahannya tersebut adalah hukum agama Islam dan
Hukum Adat Jawa yang melarang poliandri.
Sekarang saya kembali membahas soal banyaknya versi cerita asal-
usul Nyai Ratu Kidul. Bolehlah, misalnya dibuat komparasi antara
banyaknya versi cerita Nyai Ratu Kidul yang saling tidak bersesuaian,
dibandingkan dengan banyaknya agama atau kepercayaan tentang
adanya Tuhan, dengan pertanyaan sebagai berikut:
“Apakah masuk akal adanya Tuhan itu? Sebab agama Hindu mengatakan
Tuhan itu Trimurti yang diantaranya adalah Wisnu bisa menitis kepada
Khrisna, sedangkan Nasrani mengatakan bahwa Tuhan itu adalah
Trinitas; Allah yang berada di atas manusia, Yesus yang bersama
manusia, dan Roh Kudus yang berada dalam jiwa manusia. Belum lagi
menurut versi Buda, Shinto, Majusi, Yahudi dan lain-lain? Padahal
secara akal, Tuhan itu pasti satu, padahal ajaran-ajaran agama itu satu
sama lain tidak menunjukkan ciri yang sama tentang Tuhan, bahkan
saling bertentangan?”
Itu pertanyaan yang masuk akal. Memang, tidak logis jika Tuhan
yang satu itu kisahnya menjadi berbagai versi. Oleh sebab itu perlu
dilakukan analisis logis, tetapi sebatas pada pembahasan ilmu
pengetahuan. Di luar itu, terserah kepada penganutnya masing-masing.
Terlepas bahwa saya adalah orang Islam, tetapi perlu saya
kemukakan bahwa Al-Quran telah melakukan kritik atas akidah-akidah
agama sebelumnya. Bagian akhir Surat Maryaam cukup mewakili kritik
terhadap akidah agama Yahudi dan Nasrani yang mempunyai istilah
“anak Tuhan”, terlepas apapun mereka memberikan pengertian
tentangnya, tetapi Al-Quran sangat hati-hati dalam memformulasikan
dalil keesaan Tuhan. Begitupula Surat Al-Ikhlas merupakan dalil untuk
membatalkan akidah politheisme. Dalil-dalil wujud Allah, misalnya:
qiyamuhu binafsihi, mukhalafatu lil hawaditsi, wujud, qidam, baqa, dan
lain-lain merupakan suatu penjelasan bahwa Tuhan itu sama sekali
berbeda dengan wujud dan ciri-ciri makhluknya, dan hal itu merupakan
kritik atas akidah-akidah selain Islam.
Follow our blog on Twitter, become a fan on Facebook. Stay updated via RSS
0 komentar for "Pertanyaan yang tidak bisa dipersamakan"