Bingkisan Air Mata Untuk 1928 (ketika para pemuda melupakan sumpahnya)
By agussodagar - Rabu, 12 September 2012
PERHATIAN BUAT PARA PEMBACA NEW.TITUIT.COM
- Sebagian Artikel Berita Foto Video news.tituit.com ini berasal dari berbagai sumber yang ada di internet .
- Hak cipta Artikel,berita,foto,video news.tituit.com menjadi milik sumber berita ,artikel,video,foto dan materi terkait.
- News.tituit.com tidak ada maksud untuk membajak hak cipta karya manapun.
- Artikel,berita,foto,video materi news.tituit.com semata mata hanya untuk documentasi , selanjutnya untuk di manfaatkan sebagai media berbagi informasi dan silaturrahmi.
- Segala metari news.tituit.com hanya untuk pembelajaran guna menanamkan suka baca dan tulis .
- Jika ada yang tidak berkenan tulisanya di tampilkan di news.tituit.com , kami harap untuk melapor kepada admin, kami tidak keberatan untuk menghapus materi tersebut.
- Jika materi ini bermanfaat , saran kami jangan lupa memberi konstribusi kepada sumber materi terkait.
- Bila ada materi yang tidak di sebutkan sumbernya , kami mohon maaf.
Demikian pengumuman singkat terkait materi yang ada di news.tituit.com dan atas perhatianya kami ucapkan terimakasih, dan selamat membaca.
-Bukan kami yang mengucap sumpah 81 tahun yang lalu. Tetapi kakek
tua renta yang duduk di seberang sana. Maka tidak ada ikatan apa
pun bagi kami. Sungguh, Kek, apa yang kakek lakukan 81 tahun silam
itu tidak berarti apa-apa bagi kami.
Mungkin bagi kakek, itu adalah sebuah bukti pengorbanan dan rasa
cinta taah air bagi kakek. Namun bagi kami, disaat kini dimana cinta
tanah air sudah tidak lagi populer dan dianggap sebagai sebuah
fanatisme sempit dan tergeser oleh tatanan masyarakat global, apa
yang kakek lakukan hanya tinggal coretan kata di buku pelajaran
anak-anak yang masih memakai baju putih-merah.
Kami putra-putri Indonesia mengaku bertumpah
darah yang satu, Tanah Air Indonesia
Kek, aku ingin bertanya sesuatu. Apa itu tanah air? Kami pun tidak
tahu. Sesungguhnya kami adalaha warga negara Indonesia. Kami
hanya manusia yang bermukim di wilayah yang kebetulan merupakan
bagian dari wilayah kedaulatan NKRI. Bukan berarti kami rela
menumpahkan darah demi tempat tinggal kami. Sungguh jika kami
mampu, maka kami akan lebih memilih tinggal di negara-negara
Eropa sana untuk agar bisa memadu kasih di bayang-bayang
keindahan Eiffel, berteriak kebebasan di atas Miss Liberty, atau
tersesat di keramaian kota New York.
Hanya saja kami tidak mampu. Takdir mendamparkan kami di negeri
yang masyarakatnya banyak di bawah garis kemiskinan atau tepat di
garis kemiskinan tersebut. Negeri dengan ketimpangan ekonomi
yang sangat besar. Dan sebuah negara besar yang bahkan tidak
berkutik meski berulang kali diusik oleh tetangganya.
Jadi buat apa kami menumpahkan darah untuk tanah ini? Sungguh
hanya orang-orang bodoh yang rela menumpahkan darah dan
berperang hanya demi apa yang mereka sebut harga diri. Heran
saja di zaman globalisasi ini masih ada orang yang fanatik sempit
hanya untuk apa yang mereka sebut tanah air. Kami hanyalah warga
negara, kami bukan penduduk. Tidak ada kewajiban bagi kami untuk
membela apa yang disebut tanah air. Bahkan kami tidak mengerti
apa itu.
Kami putra-putri Indonesia mengaku berbangsa
yang satu, Bangsa Indonesia
Sadarlah, Kek. Jendral tersenyum itu tidak lagi berkuasa. Tidak
ada lagi istilah menyatukan keragaman. Di masa sekarang ini yang
sedang trend adalah upaya mempertahankan keragaman. Tidak
perlulah kalian berbohong dengan berkata hanya ada satu bangsa di
NKRI ini.
Bahkan secara nyata tampak dari dulu bahwa negara ini didiami oleh
bermacam-macam bangsa yang berbeda baik itu pribumi maupun
pendatang. Secara ilmiah, tidak ada apa itu yang kalian sebut
sebagai Bangsa Indonesia. Selama 32 tahun Orde Baru istilah
Bangsa Indonesia hanya digunakan orang-orang Jawa dalam
upayanya menjajah daerah-daerah lain. Kini lihatlah mereka mulai
sadar bahwa tidak ada Bangsa Indonesia, yang ada adalah Bangsa
Jawa yang memaksakan bangsa-bangsa lain di NKRI ini untuk
mengikuti mereka.
Jadi, Kek, kenapa kalian berbohong bahwa kalian itu sama? Kenapa
kalian membuat sumpah palsu bahwa kalian itu satu? Bukankah pada
kenyataannya kalian itu berbeda-beda dan itu tidak dapat
dipungkiri lagi. Mungkin hanya satu kesamaan kalian pada waktu itu
yaitu: sama-sama dijajah!
Kenapa pula Kakek bangga mengaku bagian dari mereka? Lihatlah
mereka adalah sekumpulan orang-orang yang malas bekerja dan
korup. Tidak ada yang membanggakan dari mereka. Lihatlah negara
yang kaya ini hancur bukan karena orang lain, tetapi karena perilaku
mereka sendiri. Lalu apa yang Kakek banggakan dengan mengaku
bahwa kalian adalah satu: Bangsa Indonesia?
Kami putra-putri Indonesia menjunjung bahasa
persatuan, Bahasa Indonesia
Kek, ingatkah adikku yang paling kecil kini bersekolah di Taman
Kanak-Kanak? Disana dia tidak lagi diajari bahasa persatuan kalian
itu. Ini era globalisasi. Maka kini Bahasa Persatuan kami adalah
Bahasa Inggris. Bahasa Inggris lah yang menyatukan kami dengan
negara-negara lain. Bahasa Inggris pula lah yang menunjukkan
seberapa terpelajar kami di masayarakat kita ini.
Maka jangan heran jika kini orang tua kami lebih suka
menyekolahkan anaknya di sekoah yang mengajarkan Bahasa
Persatuan kami itu. Jangan heran pula jika kini kami lebih suka
menggunakan isstilah asing dalam keseharian kami. Karena bahasa
persatuan kami adalah Bahasa Inggris.
Cukuplah Bahasa Persatuan kalian itu dipelajari dalam sekolah-
sekolah konvesional kami dari umur 5tahun hingga 18tahun, tidak
lebih. Dan jangan berharap kami akan menggunakannya dalam
kehidupan sehari-hari kami karena itu sangat memalukan. Mana
mungkin di zaman globalisasi ini kami masih menggunakan bahasa
konvensional itu??
Lihatlah buku-buku kami, dapatkah Kakek temukan Bahasa
Persatuan kakek? Lihatlah selebaran-selebaran kami yang dipenuhi
istilah-istilah Bahasa Persatuan kami. Lihatlah forum-forum
terpelajar kami yang mulai meninggalkan Bahasa Persatuan kakek
karena sudah ketinggalan zaman. Kek,kenapa 81 tahun yang lalu
kalian tidak bersumpah saja menjunjung tinggi Bahasa Inggris?
Sekali lagi, Kek, kami sungguh tidak paham dengan kalian. Mengapa
kalian membuat sumpah semacam itu 81 tahun yang lalu? Tidak
tahukah kakek bahwa Sumpah dan Janji itu sangat sakral dan harus
ditepati? Tapi untunglah, Kek, bukan kami yang bersumpah
melainkan kalian.
Follow our blog on Twitter, become a fan on Facebook. Stay updated via RSS
0 komentar for "Bingkisan Air Mata Untuk 1928 (ketika para pemuda melupakan sumpahnya)"