Kenikmatan dan Kesenangan Menuju Kehancuran
By indonesia - Sabtu, 28 Juli 2012
Kenikmatan dan Kesenangan
Menuju Kehancuran
Pepatah
mengatakan “hidup dalam penderitaan, mati dalam kedamaian”. Dari zaman dahulu
hingga sekarang, hidup yang begitu enak dan nyaman pernah mengubur sejumlah
besar nyawa yang seharusnya berprestasi di dunia. Semasa musim semi dan gugur,
ahli ramal dari negeri Qi yakni Guanzhong pernah memberi nasehat pada Qi
Huangong, “Suka berfoya-foya dan bermalas malasan, tidak boleh bersemayam di
hati.“ Dalam pandangan orang dahulu, mencari kenikmatan dan kesenangan lebih
berbahaya daripada arak beracun, sebab ia dapat menghancurkan hidup seseorang.
Dan di masyarakat modern yang moralnya merosot, masih saja banyak orang yang
tidak menghargai waktu, selalu membiarkan hasrat kenikmatan materiil, mengejar
kehidupan asusila tak terbatas dan tanpa tujuan seperti mimpi atau mabuk, dan
perlahan-lahan tanpa disadari menuju kehancuran.
Menurut
cerita turun temurun, pada zaman dahulu di Tiongkok, di sebuah danau besar
sebelah utara terdapat sebuah pulau kecil, di pulau itu hiduplah seorang nelayan
tua bersama istrinya. Hari-hari biasa, si nelayan tua mendayung perahunya ke
danau untuk menangkap ikan, dan di atas pulau itu, istrinya memelihara ayam dan
bebek, selain membeli keperluan untuk kebutuhan hidup, mereka jarang bergaul dan
berhubungan dengan dunia luar. Pada suatu ketika di musim gugur, sekumpulan
angsa tiba di pulau itu. Mereka terbang dari utara yang sangat jauh dan tiba di
pulau tersebut, dan bersiap untuk terbang ke selatan melewati musim dingin.
Suami-istri tampak sangat gembira melihat sekumpulan tamu dari jauh ini. Sebab
selama sekian lama mereka menetap di pulau itu, belum pernah ada siapa pun yang
datang mengunjungi mereka.
Untuk
menyatakan kegembiraan mereka, suami-istri nelayan tersebut menjamu angsa-angsa
itu dengan mengeluarkan makanan ternak ayam dan ikan tangkapannya. Selanjutnya,
sekelompok angsa itu perlahan-lahan mulai akrab dengan pasangan suami-istri ini.
Di atas pulau itu, mereka tidak saja mondar mandir dengan sesukanya, bahkan saat
nelayan tua itu menangkap ikan, mereka mengikuti perahu itu, bersenang-senang
dan gembira.
Musim
dingin tiba, gerombolan angsa ini ternyata tidak melanjutkan penerbangannya ke
selatan, malamnya, mereka bertengger di pulau itu. Permukaan telaga tertutup
beku, dan mereka tidak bisa lagi mendapatkan makanan, suami-istri itu membuka
gubuk mereka dan menyuruh mereka masuk untuk menghangatkan badan, dan memberi
mereka makanan. Perhatian dan perlakuan demikian terus berlangsung hingga musim
semi tiba, dan permukaan telaga cair kembali. Hari demi hari, tahun demi tahun.
Setiap tahun di musim dingin, suami-istri ini selalu tidak bosan-bosannya
memelihara sekumpulan angsa tersebut. Akhirnya pada suatu hari, mereka pun mulai
senja dan meninggal dunia. Dan si angsa juga menghilang sejak itu, tapi, mereka
tidak terbang ke selatan, melainkan mati kelaparan pada musim dingin kedua
ketika permukaan telaga menjadi beku.
Seseorang
yang tidak mempunyai semangat untuk berusaha, atau mungkin seorang yang
kultivasi telah hilang semangatnya, juga akan sama seperti angsa-angsa dalam
cerita ini. Meskipun secara permukaan hidup tanpa penderitaan, enak dan nyaman,
namun, tidak lama dikemudian hari tersandung bahaya hidup yang besar. Orang
zaman dulu mengatakan “Orang yang tidak mempunyai pertimbangan jangka panjang,
pasti ada kecemasan di depan mata.” Menghargai waktu berarti menyayangi hidup,
bagi yang hanya mencari kesenangan semata, akhir yang tragis dari kumpulan angsa
itu cukup untuk menjadikannya sebagai pelajaran bagi kita semua.
Follow our blog on Twitter, become a fan on Facebook. Stay updated via RSS
0 komentar for "Kenikmatan dan Kesenangan Menuju Kehancuran"